SELAMAT DATANG

Search This Blog

Thursday, April 22, 2010

CARA MENGENALI ANAK HIPERAKTIF

Oleh dr. Dito Anurogo
ANAK hiperaktif atau ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), pertama kalinya dideskripsikan oleh dokter Heinrich Hoffman pada tahun 1863. Angka kejadiannya cukup membuat cemas orang tua. Hasil riset yang dilakukan oleh Dwidjo Saputro (2009) di DKI Jakarta menyimpulkan bahwa di antara lima anak sekolah dasar didapatkan satu anak yang menderita ADHD.

Penyebab

Multifaktor, yaitu: faktor lingkungan dan psikososial, seperti: riwayat terkena toksin (zat beracun) seperti timah, terpapar rokok, konflik keluarga, hubungan keluarga yang retak atau tidak harmonis.

Sosial ekonomi keluarga yang tidak memadai, jumlah keluarga yang terlalu besar, orang tua terkena kasus kriminal, orang tua dengan gangguan jiwa (psikopat), cara mengasuh-mendidik yang kasar, anak yang diasuh di penitipan anak, rasa kehilangan yang sangat, misal: karena orang tua bercerai atau meninggal dunia, di awal masa anak-anak juga menjadi penyebab.

Faktor makanan: kekurangan asam lemak omega-3; konsumsi makanan dengan zat/bahan pengawet dan pemanis, seperti: natrium benzoat, gula. Faktor biologis dan genetik, seperti: riwayat keracunan kehamilan, perdarahan antepartum (sebelum melahirkan), fetal distress, cedera saat lahir. Ibu hamil yang terpapar rokok, merokok, atau mengkonsumsi alkohol, heroin.

Janin kekurangan oksigen, dan kekurangan asupan seng. Riwayat bayi dengan berat lahir sangat rendah atau prematur, cedera otak. Ada peningkatan kadar monoamine oksidase (MAO) pada trombosit anak dengan gangguan pemusatan perhatian-hiperaktivitas.

Gangguan neurotransmitter, seperti: gangguan sistem central catecholaminergic neurotransmission, perubahan catecholaminergic terutama dopaminergic dan noradrenergic, penurunan homovalinic acid (HVA) cairan serebrospinal, ketidaknormalan fungsi norepinefrin. Anak dengan dopamine transporter (DAT) susceptibility gene rentan menderita ADHD.

Gambaran Klinis

Gejala ADHD merupakan rangkaian kesatuan, yang dapat menetap (setidaknya selama 6 bulan) sepanjang masa anak hingga dewasa, meliputi: gangguan pemusatan perhatian, seperti: terlihat sering bengong atau melamun. Jarang menyelesaikan perintah sampai tuntas, tak dapat berkonsentrasi dalam waktu lama, kalau belajar harus selalu ditunggu, belum dapat menyelesaikan tugas sendiri, pikirannya kacau, mudah bingung, pelupa, perhatian mudah beralih, barang-barang miliknya (seperti mainan) sering hilang, tertinggal atau terlupakan.

Hiperaktivitas, yaitu aktivitas motorik dan vokal yang sangat berlebihan, seperti: banyak bicara (misal: ngobrol dengan teman di dalam kelas, sering nyeletuk), tidak dapat tenang/diam (misal: tidak dapat duduk diam, sering berjalan-jalan di dalam kelas), tidak mengenal lelah, tangan dan kaki selalu bergerak, sulit dikendalikan saat di mall atau sedang berbelanja, kadang tampak gelisah, ribut, atau gaduh.

Perilaku impulsif, yaitu perilakunya kurang terkendali, seperti: berbicara dan bertindak tanpa berpikir akibatnya, suka menginterupsi atau menyela orang lain, sering menjawab terburu-buru sebelum pertanyaan usai ditanyakan, sering usil, tidak sabaran, sering mengambil “jalan pintas” dalam menyelesaikan tugas.

Dapat juga disertai dengan: sikap menentang, seperti: sering melanggar peraturan. Lebih mudah merasa terganggu, mudah tersinggung, mudah marah dibandingkan dengan teman yang seusia. Cemas, misalnya: lebih banyak mengalami rasa khawatir dan takut dibanding teman yang seusia.

Sangat sensitif terhadap kritikan, mengalami kecemasan pada situasi yang baru atau yang tidak dikenal, terlihat sangat pemalu dan menarik diri. Memiliki problem sosial, seperti: hanya memiliki sedikit teman, sering merasa rendah diri dan tidak percaya diri, kemampuan sosialisasi buruk.

Pemeriksaan Penunjang

Penderita tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. Untuk deteksi dini di Indonesia, digunakan instrumen Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif (SPPAHI) untuk deteksi ADHD pada anak berusia 6-13 tahun, yang dapat dipakai oleh orang tua, guru, dokter.

Jika fasilitas tersedia, sebelum dan sesudah pemberian terapi, dapat dilakukan pemeriksaan cognitive Event Related Potential (ERP), Matching Familiar Test, dan Continuous Performance Test untuk menilai kemampuan memusatkan perhatian dan tingkat kewaspadaan.

Terapi

Untuk semua penderita ADHD, ditekankan pentingnya diet-nutrisi seimbang, yakni: 4 sehat 5 sempurna, berolahraga dan beribadah secara rutin dan teratur. Diet yang direkomendasikan adalah diet oligoantigenic, yaitu menghindari (bahan) makanan yang berpotensi menyebabkan alergi, seperti: susu dan produk-produknya, tepung terigu, gandum, jagung, ragi, dan kedelai. Hindari juga susu sapi, telur, jeruk.

Secara umum, methylphenidate, atomoxetine, dan dexamfetamine dapat digunakan untuk anak dan remaja penderita ADHD atas indikasi. Atomoxetine dapat digunakan jika methylphenidate tidak manjur, dan sebaiknya dikombinasikan dengan inhibitor CYP2D6, seperti: fluoxetine. Obat stimulan, seperti pemoline, dapat juga digunakan pada anak, remaja, dan orang dewasa penderita ADHD yang tidak berespon terhadap methylphenidate.

Dexamfetamine dapat dipertimbangkan jika anak dan orang muda dengan ADHD tidak berespon terhadap dosis maksimum dari methylphenidate atau atomoxetine.

Untuk orang dewasa penderita ADHD, sebaiknya diberikan terapi yang komprehensif, meliputi: obat yang disertai juga dengan terapi psikologis, terapi perilaku, dan okupasi. Obat tidak direkomendasikan untuk anak ADHD yang belum bersekolah, sehingga terapi pada anak yang belum bersekolah sebaiknya diberikan oleh dokter, terutama psikiater anak dan spesialis anak. Beberapa obat herbal, seperti: Ginkgo biloba, Passiflora, sedang diteliti kemanjurannya untuk mengobati ADHD.

Pencegahan

Berbagai upaya untuk mencegah ADHD antara lain: kedua orang tua jangan merokok. Untuk ibu hamil, hindari: rokok, konsumsi makanan/minuman beralkohol, narkoba, heroin. Ibu hamil hendaknya teratur kontrol, rajin berolahraga dan rutin beribadah, menjaga asupan gizi seimbang, terutama vitamin D.

Menjaga bayi dan anak dari semua makanan-minuman yang mengandung zat tartrazine, bahan pengawet (seperti: sodium benzoate), pemanis (seperti: gula), dan pewarna buatan. Jauhi TV, terutama jika Anda memiliki anak yang berusia kurang dari dua tahun. Untuk semua anak dan remaja, sebaiknya tidak menonton TV lebih dari 3 jam per hari, efektifkan waktu untuk belajar, berdiskusi, menambah pengalaman positif, membaca, menulis, dan beribadah dalam arti luas.

Dengan penatalaksanaan holistik yang didukung oleh semua pihak, maka tentunya permasalahan ADHD akan teratasi dengan baik.(13)

– dokter Dito Anurogo, tinggal di Semarang, peneliti hematopsikiatri, pernah menjadi delegasi Indonesia untuk riset dan training ke Italia dan Hungaria.

No comments:

Post a Comment